
JAKARTA - Setengah abad lalu, di lereng Kamojang, Jawa Barat, asap putih yang mengepul dari perut bumi menandai babak baru sejarah energi Indonesia.
Dari situlah, proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi pertama lahir. Lebih dari sekadar infrastruktur energi, Kamojang menjadi simbol kolaborasi internasional yang menegaskan bahwa kemajuan energi bersih tidak bisa dicapai sendirian.
Proyek perintis itu berhasil berkat kerja sama antara para ahli Indonesia dengan mitra internasional, terutama dari Selandia Baru, yang dikenal sebagai pelopor teknologi panas bumi sejak lama. Dari sinilah, cerita panjang kemitraan dua negara dalam pengembangan energi berkelanjutan dimulai.
Baca JugaHarga Tembaga Global Melonjak Akibat Krisis Tambang Freeport
Tonggak Kerja Sama Indonesia dan Selandia Baru
Sejak tahun 1974, Indonesia dan Selandia Baru telah menandatangani nota kesepahaman di bidang energi panas bumi.
Dukungan dari Negeri Kiwi mencakup riset, transfer teknologi, hingga pelatihan sumber daya manusia. Dari generasi insinyur Kamojang hingga profesional muda saat ini, jejak kerja sama tersebut masih jelas terasa.
Kini, saat dunia bergerak menuju transisi energi, kemitraan dua negara menjadi semakin relevan. Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050. Panas bumi dipandang sebagai salah satu kunci pencapaiannya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwa potensi panas bumi Indonesia mencapai 23.742 megawatt (MW).
Dengan kapasitas terpasang 2.744 MW, Indonesia kini menempati posisi kedua dunia, tepat di bawah Amerika Serikat.
“Panas bumi adalah salah satu sumber energi baru terbarukan, dan Indonesia mempunyai cadangan yang cukup besar, terbesar di dunia. Dari potensi ini, baru sekitar 10 persen yang bisa kita kelola. Artinya, masih ada 90 persen peluang yang bisa dioptimalkan,” ujar Bahlil.
Selandia Baru, Pelopor Panas Bumi Dunia
Sejak 1950-an, Selandia Baru dikenal sebagai pelopor pemanfaatan panas bumi untuk pembangkit listrik. Pada 2024, sekitar 88 persen listrik di negara tersebut berasal dari energi terbarukan, termasuk hidro, panas bumi, surya, dan angin.
Negeri Kiwi itu juga mengembangkan teknologi re-injection karbon dioksida (CO2) ke reservoir sehingga emisi bisa ditekan mendekati nol.
“Pemerintah Selandia Baru baru saja mengumumkan strategi untuk menggantikan penggunaan gas alam dengan geotermal, baik untuk listrik maupun panas langsung.
Itu bagian dari target netral karbon 2050,” kata Leighton Taylor, President of the New Zealand Geothermal Association Board, saat wawancara eksklusif di sela IIGCE 2025.
Etalase Kolaborasi di IIGCE 2025
Semangat kerja sama kedua negara terlihat jelas di ajang IIGCE 2025. Delapan perusahaan asal Selandia Baru hadir dengan membawa teknologi, riset, hingga pengalaman panjang mereka.
Beberapa di antaranya:
Beca, konsultan independen besar di Asia Pasifik, berpengalaman dalam manajemen proyek geotermal.
CaSil Technologies, menawarkan solusi inovatif untuk mengatasi endapan silika pada reservoir.
Geothermal Institute University of Auckland, lembaga pendidikan dan riset yang hampir 50 tahun mendukung pengembangan SDM Indonesia.
Earth Sciences New Zealand (dahulu GNS Science), dengan 150 tahun pengalaman riset kebumian.
Jacobs, perusahaan global yang telah membantu lebih dari 3.000 MW kapasitas geotermal di dunia.
MB Century, spesialis pengeboran dan reservoir dengan pengalaman 75 tahun.
MTL NZ Limited, konsultan desain teknis proyek geotermal.
Seequent, penyedia teknologi pemodelan geologi 3D untuk eksplorasi bawah tanah.
Menurut Leighton, keterlibatan perusahaan-perusahaan tersebut menunjukkan komitmen nyata untuk memperdalam kemitraan dengan Indonesia.
“Kami melihat Indonesia sebagai mitra strategis. Potensi panas bumi Indonesia sangat besar sehingga membutuhkan dukungan teknologi, pengalaman, dan pembiayaan agar bisa terealisasi. Itulah yang ingin kami bawa,” ujarnya.
Pandangan dari Pemerintah Selandia Baru
New Zealand Trade Commissioner to Indonesia, Cecilia Shand, menegaskan bahwa kerja sama energi bukan hanya soal bisnis.
“Bagi Selandia Baru, energi bersih adalah bagian dari identitas kami. Membawa pengalaman itu ke Indonesia berarti membantu mempercepat transisi energi global, sekaligus memperkuat hubungan antarbangsa,” ujarnya.
Selain itu, program kerja sama seperti PINZ (Programme Indonesia–Aotearoa New Zealand Geothermal Energy) dirancang untuk mendukung regulasi, teknis, dan pelatihan SDM, sekaligus mengurangi hambatan dalam pengembangan proyek.
Potensi Direct Use dan Manfaat Lokal
Kerja sama dua negara juga menyoroti pemanfaatan panas bumi langsung (direct use). Di Selandia Baru, energi panas bumi digunakan untuk industri susu hingga kebutuhan sehari-hari, bahkan tisu toilet diproduksi dengan energi geotermal.
Indonesia mulai menapaki jalur serupa, misalnya pada proyek uji coba pengeringan teh hijau dengan panas bumi. Hasilnya tidak hanya rendah emisi, tetapi juga berpotensi menciptakan produk ramah lingkungan dengan nilai tambah ekspor.
“Peluang direct use sangat besar. Ini bisa menjadi model bisnis baru di luar pembangkit listrik, dengan manfaat ekonomi langsung ke masyarakat lokal,” tambah Cecilia.
Geotermal sebagai Solusi Global
Lebih dari sekadar sumber energi, geotermal adalah bagian dari solusi melawan perubahan iklim global. Dengan cadangan yang besar, Indonesia bisa menjadikannya tulang punggung energi bersih.
Leighton menutup pernyataannya dengan satu kata kunci, yakni enabling. “New Zealand adalah mitra sejati Indonesia, dulu, sekarang, dan ke depan. Kami ada di sini untuk mendukung Indonesia mencapai ambisi net zero lewat geotermal,” tegasnya.

Sindi
navigasi.co.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
2.
Bandingkan Polytron G3 dan G3 Plus, Pilih Mobil Listrik Terbaik
- 07 Oktober 2025
3.
4.
5.
TNI Kenalkan Seragam PDL Baru Warna Hijau Muda Modern
- 07 Oktober 2025